HAKIKAT
NEGARA HUKUM
KELOMPOK 9
ANGGOTA
KELOMPOK :
·
ROLITA
KRISAKTI DEWI SIHOTANG
NIM : 1205151089
· KEVIN GOREYN RANANTA GURUSINGA
NIM : 1205151112
KELAS : P-3
AKUNTANSI
STIE-IBBI
CIRI-CIRI NEGARA HUKUM
Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechtsstaat atau Rule of
Law. Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental
memberikan ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut.
1) Hak asasi manusia
2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa dikenal sebagai Trias Politika
3) Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan
4) Peradilan administrasi dalam perselisihan
1) Hak asasi manusia
2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa dikenal sebagai Trias Politika
3) Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan
4) Peradilan administrasi dalam perselisihan
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberi ciri-ciri
Rule of Law sebagai berikut.
1) Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
2) Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat
3) Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan
1) Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
2) Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat
3) Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan
Sebuah komisi para juris yang tergabung dalam International Comunition
of Jurits pada konferensi Bangkok tahun 1965 merumuskan ciri-ciri pemerintahan
yang demokratis di bawah Rule of Law yang dinamis. Ciri-ciri tersebut adalah
1) Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selai daripada menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2) Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3) Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
4) Pemilihan umum yang bebas;
5) Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi;
6) Pendidikan civics (kewarganegaraan)
1) Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selai daripada menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2) Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3) Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
4) Pemilihan umum yang bebas;
5) Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi;
6) Pendidikan civics (kewarganegaraan)
Disamping perumusan ciri-ciri negara hukum seperti di atas, ada pula
berbagai pendapat mengenai ciri-ciri negara hukum yang dikemukakan oleh para
ahli. Menurut Montesquieu, negara yang paling baik adalah negara hukum, sebab
di dalam konstitusi di banyak negara terkandung tiga inti pokok, yaitu :
1) Perlindungan HAM
2) Ditetapkan ketatanegaraan suatu negara; dan
3) Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara
2) Ditetapkan ketatanegaraan suatu negara; dan
3) Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara
Prof. Sudargo Gautama mengemukakan 3(tiga) ciri atau unsur dari negara
hukum, yakni sebagai berikut.
1) Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
2) Asas legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
3) Pemisahan kekuasaan
Agar hak-hak asasi betul-betul terlindungi, diadakan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan badan yang mengadilin harus terpisah satu sama
1) Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
2) Asas legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
3) Pemisahan kekuasaan
Agar hak-hak asasi betul-betul terlindungi, diadakan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan badan yang mengadilin harus terpisah satu sama
lain tidak berada dalam satu
tangan.
3. INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM
Dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum tertuang pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dimasukkannya ketentuan ini ke dalam bagian pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara Indonesia adalah dan harus merupakan negara hukum.
Sebelumnya, landasan negara hukum Indonesia ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara, yaitu sebagai berikut.
1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat). Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2) Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Berdasarkan perumusan di atas, negara Indonesia memakai sistem Rechsstaat yang kemungkinan dipengaruhi oleh konsep hukum Belanda yang termasuk dalam wilayah Eropa Kontinental.
Konsepsi negara hukum Indonesia dapat dimasukkan negara hukum materiil, yang dapat dilihat pada Pembukaan UUD 1945 Alenia IV. Dasar lain yang dapat dijadikan landasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yakni pada Bab XIV tentang Perekonomian Nagara dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 dan 34 UUD 1945, yang menegaskan bahwa negara turut aktif dan bertanggung jawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.
Negara Hukum Indonesia menurut UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Norma hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai hukum dasar nasional;
2. Sistem yang digunakan adalah Sistem Konstitusi;
3. Kedaulatan rakyat atau Prinsip Demokrasi;
4. Prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 (1) UUD 1945);
5. Adanya organ pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR);
6. Sistem pemerintahannya adalah Presidensiil;
7. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif);
8. Hukum bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; dan
9. Adanya jaminan akan hak asasi dan kewajiban dasar manusia (Pasal 28 A-J UUD 1945).
Dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum tertuang pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dimasukkannya ketentuan ini ke dalam bagian pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara Indonesia adalah dan harus merupakan negara hukum.
Sebelumnya, landasan negara hukum Indonesia ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara, yaitu sebagai berikut.
1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat). Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2) Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Berdasarkan perumusan di atas, negara Indonesia memakai sistem Rechsstaat yang kemungkinan dipengaruhi oleh konsep hukum Belanda yang termasuk dalam wilayah Eropa Kontinental.
Konsepsi negara hukum Indonesia dapat dimasukkan negara hukum materiil, yang dapat dilihat pada Pembukaan UUD 1945 Alenia IV. Dasar lain yang dapat dijadikan landasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yakni pada Bab XIV tentang Perekonomian Nagara dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 dan 34 UUD 1945, yang menegaskan bahwa negara turut aktif dan bertanggung jawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.
Negara Hukum Indonesia menurut UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Norma hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai hukum dasar nasional;
2. Sistem yang digunakan adalah Sistem Konstitusi;
3. Kedaulatan rakyat atau Prinsip Demokrasi;
4. Prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 (1) UUD 1945);
5. Adanya organ pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR);
6. Sistem pemerintahannya adalah Presidensiil;
7. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif);
8. Hukum bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; dan
9. Adanya jaminan akan hak asasi dan kewajiban dasar manusia (Pasal 28 A-J UUD 1945).
HAKIKAT HAM DI INDONESIA
Sekitar abad ke 20 perjuangan hak asasi manusia cukup berkembang dan makin luas tidak hanya tebatas pada hak politik tetapi juga pada hak – sak lain, seperti yag diajukan presiden AS Franklin D. Roselvet pada permulaan perang dunia ke II waktu berhadapan dengan Nizi Jerman. Hak – hak tersebut sebagai The four Freedoms (Empat kebebasan) yaitu:
1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech)
2. Kebebasan beragama (freedom from religion)
3. Kebebasan dari ketakutan (freedom of fear)
4. Kebebasan dari kemelaratan (freedom of want)
Hak asasi manusia atau yang sering dikenal dengan HAM pada hakekatnya merupakan hak – hak fundamental yang dimilki oleh seseorang dan melekat pada kodrat manusia. HAM dalam ketentuan pasal 1 angka 1 undang – undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindugi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabatmanusia.
Sekitar abad ke 20 perjuangan hak asasi manusia cukup berkembang dan makin luas tidak hanya tebatas pada hak politik tetapi juga pada hak – sak lain, seperti yag diajukan presiden AS Franklin D. Roselvet pada permulaan perang dunia ke II waktu berhadapan dengan Nizi Jerman. Hak – hak tersebut sebagai The four Freedoms (Empat kebebasan) yaitu:
1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech)
2. Kebebasan beragama (freedom from religion)
3. Kebebasan dari ketakutan (freedom of fear)
4. Kebebasan dari kemelaratan (freedom of want)
Hak asasi manusia atau yang sering dikenal dengan HAM pada hakekatnya merupakan hak – hak fundamental yang dimilki oleh seseorang dan melekat pada kodrat manusia. HAM dalam ketentuan pasal 1 angka 1 undang – undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindugi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabatmanusia.
Menurut pendapat Jan Materson
(dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana
dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada
setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
• John Locke menyatakan bahwa
HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta
sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
• Dalam pasal 1 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Kasus pelanggaran HAM ini
dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
1.
Pembunuhan masal (genisida)
2.
Pembunuhan sewenang-wenang
atau di luar putusan pengadilan
3.
Penyiksaan
4.
Penghilangan orang secara
paksa
5.
Perbudakan atau diskriminasi
yang dilakukan secara sistematis
b. Kasus pelanggaran HAM yang
biasa, meliputi :
1.
Pemukulan
2.
Penganiayaan
3.
Pencemaran nama baik
4.
Menghalangi orang untuk
mengekspresikan pendapatnya
5.
Menghilangkan nyawa orang lain
GAGASAN NEGARA HUKUM INDONESIA
Dalam rangka perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, maka dalam Perubahan
Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum
atau “Rechtsstaat” yang
sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945,
dirumuskan dengan tegas dalam
Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum.” Dalam
konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus
dijadikan panglima dalam dinamika
kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik
ataupun ekonomi. Karena itu,
jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk
menyebut prinsip Negara Hukum
adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut
pemerintahan pada pokoknya adalah
hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang
hanya bertindak sebagai ‘wayang’
dari skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan Negara Hukum itu dibangun
dengan mengembangkan perangkat hukum
itu sendiri sebagai suatu sistem
yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan
menata supra struktur dan infra
struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang
tertib dan teratur, serta dibina
dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang
rasional dan impersonal dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, sistem hukum itu perlu
dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing)
sebagaimana mestinya, dimulai
dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi
kedudukannya. Untuk menjamin
tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang
berkedudukan tertinggi (the
supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah
Konstitusi yang berfungsi sebagai
‘the guardian’ dan sekaligus ‘the ultimate interpreter
of the constitution’.
Konsep Negara Hukum Kontemporer
Gagasan, cita, atau ide Negara
Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’
dan ‘the rule of law’,
juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari
perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’.
Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan
‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’
dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan
‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang
dibayangkan sebagai faktor penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan adalah
norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu
berkaitan erat dengan ide
kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan
tertinggi. Dalam istilah Inggeris
yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat
dikaitkan dengan prinsip “rule
of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi
jargon “the Rule of Law, and
not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai
pemimpin adalah hukum itu
sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi”
yang kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”2, jelas
tergambar bagaimana ide nomokrasi
itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan
dari zaman Yunani Kuno.
Di zaman modern, konsep Negara
Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan
antara lain oleh Immanuel Kant,
Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan
menggunakan istilah Jerman, yaitu
“rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo
Amerika, konsep Negara hukum
dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan
sebutan “The Rule of Law”.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah
‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi
manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan
undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan
adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara
Hukum yang disebutnya dengan
istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’
yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di
atas pada pokoknya dapat
digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey
untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di
zaman sekarang. Bahkan, oleh “The
International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip
Negara Hukum itu ditambah lagi
dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak
(independence and impartiality
of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan
mutlak diperlukan dalam setiap
negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri
penting Negara Hukum menurut “The
International Commission of Jurists” itu adalah:
1. Negara harus tunduk pada
hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak
individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak
memihak.
Profesor Utrecht membedakan ntara
Negara Hukum Formil atau Negara Hukum
Klasik, dan Negara Hukum Materiel
atau Negara Hukum Modern3. Negara Hukum
Formil menyangkut pengertian
hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti
peraturan perundang-undangan
tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum
Materiel yang lebih mutakhir
mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena
itu, Wolfgang Friedman dalam
bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan
antara ‘rule of law’ dalam
arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule
of law’ dalam arti materiel yaitu ‘the
rule of just law’. Pembedaan ini dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa dalam konsepsi
negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan
terwujud secara substantif,
terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri
dapat dipengaruhi oleh aliran
pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh
aliran pikiran hukum materiel.
Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan
perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang
dikembangkan juga bersifat sempit
dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan
substantive. Karena itu, di
samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga
dikembangikan istilah ‘the
rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian
kita tentang ‘the rule of law’
tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada
sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun
istilah yang digunakan tetap ‘the
rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang
diharapkan dicakup dalam istilah
‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut
konsepsi tentang Negara Hukum di
zaman sekarang.
Namun demikian, terlepas dari
perkembangan pengertian tersebut di atas,
konsepsi tentang Negara Hukum di
kalangan kebanyakan ahli hukum masih sering
terpaku kepada unsur-unsur
pengertian sebagaimana dikembangkan pada abad ke-19 dan
abad ke-20. Sebagai contoh,
tatkala merinci unsur-unsur pengertian Negara Hukum
(Rechtsstaat), para ahli
selalu saja mengemukakan empat unsur ‘rechtsstaat’, dimana
unsurnya yang keempat adalah
adanya ‘administratieve rechtspraak’ atau peradilan tata
usaha Negara sebagai ciri pokok
Negara Hukum. Tidak ada yang mengaitkan unsur
pengertian Negara Hukum Modern
itu dengan keharusan adanya kelembagaan atau
setidak-tidaknya fungsi Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga pengadilan tata Negara.
Jawabannya ialah karena konsepsi
Negara Hukum (Rechtsstaat) sebagaimana banyak
dibahas oleh para ahli sampai
sekarang adalah hasil inovasi intelektual hukum pada abad
ke 19 ketika Pengadilan
Administrasi Negara itu sendiri pada mulanya dikembangkan;
sedangkan Mahkamah Konstitusi
baru dikembangkan sebagai lembaga tersendiri di
samping Mahkamah Agung atas jasa
Professor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru
dibentuk pertama kali di Austria
pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika pengadilan tata
usaha Negara merupakan fenomena
abad ke-19, maka pengadilan tata negara adalah
fenomena abad ke-20 yang belum
dipertimbangkan menjadi salah satu ciri utama Negara
Hukum kontemporer. Oleh karena
itu, patut kiranya dipertimbangkan kembali untuk
merumuskan secara baru konsepsi
Negara Hukum modern itu sendiri untuk kebutuhan
praktek ketatanegaraan pada abad
ke-21 sekarang ini.
Menurut Arief Sidharta4,
Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsurunsur
dan asas-asas Negara Hukum itu
secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal sebagai
berikut:
1. Pengakuan, penghormatan, dan
perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar
dalam penghormatan atas martabat
manusia (human dignity).
2. Berlakunya asas kepastian
hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa
kepastian hukum terwujud dalam
masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan
kepastian hukum dan
prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan
bersama dalam masyarakat bersifat
‘predictable’. Asas-asas yang terkandung dalam
atau terkait dengan asas
kepastian hukum itu adalah:
a. Asas legalitas,
konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b. Asas undang-undang menetapkan
berbagai perangkat peraturan tentang cara
pemerintah dan para pejabatnya
melakukan tindakan pemerintahan;
c. Asas non-retroaktif
perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang
harus lebih dulu diundangkan dan
diumumkan secara layak;
d. Asas peradilan bebas, independent,
imparial, dan objektif, rasional, adil dan
manusiawi;
e. Asas non-liquet, hakim tidak
boleh menolak perkara karena alasan undangundangnya
tidak ada atau tidak jelas;
f. Hak asasi manusia harus
dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam
undang-undang atau UUD.
3. Berlakunya Persamaan (Similia
Similius atau Equality before the Law)
Dalam Negara Hukum, Pemerintah
tidak boleh mengistimewakan orang atau
kelompok orang tertentu, atau
memdiskriminasikan orang atau kelompok orang
tertentu. Di dalam prinsip ini,
terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua
orang di hadapan hukum dan
pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk
menuntut perlakuan yang sama bagi
semua warga Negara.
4. Asas demokrasi dimana setiap
orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama
untuk turut serta dalam
pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan
pemerintahan. Untuk itu asas
demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip,
yaitu:
a. Adanya mekanisme pemilihan
pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat
langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil yang diselenggarakan secara
berkala;
b. Pemerintah bertanggungjawab
dan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh
badan perwakilan rakyat;
c. Semua warga Negara memiliki
kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan politik dan mengontrol
pemerintah;
d. Semua tindakan pemerintahan
terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua
pihak;
e. Kebebasan
berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
f. Kebebasan pers dan lalu lintas
informasi;
g. Rancangan undang-undang harus
dipublikasikan untuk memungkinkan
partisipasi rakyat secara
efektif.
5. Pemerintah dan Pejabat
mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang
bersangkutan. Dalam asas ini
terkandung hal-hal sebagai berikut:
a. Asas-asas umum peerintahan
yang layak;
b. Syarat-syarat fundamental bagi
keberadaan manusia yang bermartabat
manusiawi dijamin dan dirumuskan
dalam aturan perundang-undangan,
khususnya dalam konstitusi;
c. Pemerintah harus secara
rasional menata tiap tindakannya, memiliki tujuan
yangn jelas dan berhasil guna
(doelmatig). Artinya, pemerintahan itu harus
diselenggarakan secara efektif
dan efisien.
Muhammad Tahir Azhary5, dengan
mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam,
mengajukan pandangan bahwa
ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu
mengandung 9 (sembilan) prinsip,
yaitu:
1. Prinsip kekuasaan sebagai
amanah;
2. Prinsip musyawarah;
3. Prinsip keadilan;
4. Prinsip persamaan;
5. Prinsip pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
6. Prinsip peradilan yang bebas;
7. Prinsip perdamaian;
8. Prinsip kesejahteraan;
9. Prinsip ketaatan rakyat.
Brian Tamanaha (2004), seperti
dikutip oleh Marjanne Termoshuizen-Artz dalam
Jurnal Hukum Jentera6, membagi
konsep ‘rule of law’ dalam dua kategori, “formal and
substantive”. Setiap kategori, yaitu “rule
of law” dalam arti formal dan “rule of law”
dalam arti substantif,
masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep Negara
Hukum atau “Rule of Law”
itu sendiri menurutnya mempunyai 6 bentuk sebagai berikut:
1. Rule by Law (bukan rule of
law), dimana hukum hanya difungsikan sebagai
“instrument of government
action”. Hukum hanya dipahami dan difungsikan sebagai
alat kekuasaan belaka, tetapi
derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat tinggi,
serta sangat disukai oleh para
penguasa sendiri, baik yang menguasai modal maupun
yang menguasai proses-proses
pengambilan keputusan politik.
2. Formal Legality, yang mencakup
ciri-ciri yang bersifat (i) prinsip prospektivitas (rule
written in advance) dan tidak
boleh bersifat retroaktif, (ii) bersifat umum dalam arti
berlaku untuk semua orang, (iii)
jelas (clear), (iv) public, dan (v) relative stabil.
Artinya, dalam bentuk yang ‘formal
legality’ itu, diidealkan bahwa prediktabilitas
hukum sangat diutamakan.
3. Democracy and Legality.
Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang
menjamin kepastian. Tetapi,
menurut Brian Tamanaha, sebagai “a procedural mode
of legitimation” demokrasi juga mengandung
keterbatasan-keterbatasan yang serupa
dengan “formal legality”7.
Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga
dapat menghasilkan hukum yang
buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu
sistem demokrasi yang berdasar
atas hukum dalam arti formal atau rule of law dalam
arti formal sekali pun, tetap
dapat juga timbul ketidakpastian hukum. Jika nilai
kepastian dan prediktabilitas
itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu
dapat saja dianggap menjadi lebih
buruk daripada rezmi otoriter yang lebih
menjamin stabilitas dan
kepastian.
4. “Substantive Views”
yang menjamin “Individual Rights”.
5. Rights of Dignity and/or
Justice
6. Social Welfare, substantive
equality, welfare, preservation of community.
Randall Peerenboom (2004)
Cita Negara Hukum Indonesia
Dalam rangka merumuskan kembali
ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum itu
dan pula penerapannya dalam
situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat saya, kita
dapat merumuskan kembali adanya
tiga-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat)
yang berlaku di zaman sekarang.
Ketiga-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilarpilar
utama yang menyangga berdiri
tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut
sebagai Negara Hukum (The Rule
of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang
sebenarnya, yaitu:
1. Supremasi Hukum (Supremacy of
Law):
Adanya pengakuan normatif dan
empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu
bahwa semua masalah diselesaikan
dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Dalam perspektif supremasi hukum
(supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin
tertinggi negara yang
sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang
mencerminkan hukum yang
tertinggi. Pengakuan normative mengenai supremasi
hukum adalah pengakuan yang
tercermin dalam perumusan hukum dan/atau
konstitusi, sedangkan pengakuan
empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam
perilaku sebagian terbesar
masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’.
Bahkan, dalam republik yang
menganut sistem presidential yang bersifat murni,
konstitusi itulah yang sebenarnya
lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’.
Itu sebabnya, dalam sistem
pemerintahan presidential, tidak dikenal adanya
pembedaan antara kepala Negara
dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem
pemerintahan parlementer.
2. Persamaan dalam Hukum
(Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap
orang dalam hukum dan pemerintahan, yang
diakui secara normative dan
dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini, segala sikap dan
tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai
sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakantindakan
yang bersifat khusus dan
sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’
guna mendorong dan mempercepat
kelompok masyarakat tertentu atau kelompok
warga masyarakat tertentu untuk
mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat
perkembangan yang sama dan setara
dengan kelompok masyarakat kebanyakan
yang sudah jauh lebih maju.
Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan
perlakuan khusus melalui ‘affirmative
actions’ yang tidak termasuk pengertian
diskriminasi itu misalnya adalah
kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok
masyarakat hukum adapt tertentu
yang kondisinya terbelakang. Sedangkan
kelompok warga masyarakat
tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang
bukan bersifat diskriminatif,
misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak
terlantar.
3. Asas Legalitas (Due Process of
Law):
Dalam setiap Negara Hukum,
dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya (due process of law),
yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus
didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan
perundang-undangan tertulis
tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau
mendahului tindakan atau perbuatan
administrasi yang dilakukan. Dengan
demikian, setiap perbuatan atau
tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan
atau ‘rules and procedures’
(regels). Prinsip normative demikian nampaknya
seperti sangat kaku dan dapat
menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena
itu, untuk menjamin ruang gerak
bagi para pejabat administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya, maka
sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijs
ermessen’ yang memungkinkan para pejabat
tata usaha negara atau administrasi
negara mengembangkan dan
menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’)
ataupun peraturan-peraturan yang
dibuat untuk kebutuhan internal (internal
regulation) secara bebas dan mandiri dalam
rangka menjalankan tugas jabatan yang
dibebankan oleh peraturan yang
sah.
4. Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan
Negara dan organ-organ Negara dengan cara
menerapkan prinsip pembagian
kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
kekuasaan secara horizontal.
Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap
kekuasaan pasti memiliki
kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenangwenang,
seperti dikemukakan oleh Lord
Acton: “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupts
absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi
dengan cara memisah-misahkan
kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat
‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat
dan saling mengimbangi
dan mengendalikan satu sama lain.
Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan
membagi-bagi kekuasaan ke dalam
beberapa organ yang tersusun secara vertical.
Dengan begitu, kekuasaan tidak
tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ
atau satu tangan yang
memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5. Organ-Organ Campuran Yang
Bersifat Independen:
Dalam rangka membatasi kekuasaan
itu, di zaman sekarang berkembang pula
adanya pengaturann kelembagaan
pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti
bank sentral, organisasi tentara,
dan organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula
lembaga-lembaga baru seperti
Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan
Umum (KPU), Komisi Ombudsman
Nasional (KON), Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), dan lain sebagainya.
Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini
sebelumnya dianggap sepenuhnya
berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi
sekarang berkembang menjadi
independen sehingga tidak lagi sepenuhnya
merupakan hak mutlak seorang
kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan
ataupun pemberhentian
pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ
tersebut dianggap penting untuk
menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat
disalahgunakan oleh pemerintah
untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi
tentara yang memegang senjata
dapat dipakai untuk menumpang aspirasi prodemokrasi,
bank sentral dapat dimanfaatkan
untuk mengontrol sumber-sumber
kekuangan yang dapat dipakai
untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu
pula lembaga atau organisasi
lainnya dapat digunakan untuk kepentingan
kekuasaan. Karena itu,
independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat
penting untuk menjamin prinsip negara
hukum dan demokrasi.
6. Peradilan Bebas dan Tidak
Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan
tidak memihak (independent and impartial
judiciary). Peradilan bebas dan tidak
memihak ini mutlak harus ada dalam setiap
Negara Hukum. Dalam menjalankan
tugas judisialnya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun juga,
baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun
kepentingan uang (ekonomi). Untuk
menjamin keadilan dan kebenaran, tidak
diperkenankan adanya intervensi
ke dalam proses pengambilan putusan keadilan
oleh hakim, baik intervensi dari
lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative
ataupun dari kalangan masyarakat
dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya,
hakim tidak boleh memihak kepada
siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran
dan keadilan. Namun demikian,
dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan
perkara oleh hakim juga harus
bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian
dan menjatuhkan putusan, hakim
harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup
di tengah-tengah masyarakat. Hakim
tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undangundang
atau peraturan
perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang
menyuarakan perasaan keadilan
yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun peradilan tata usaha
negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan
tidak memihak, tetapi
penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara
Hukum tetap perlu ditegaskan
tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus
terbuka kesempatan bagi tiap-tiap
warga negara untuk menggugat keputusan
pejabat administrasi Negara dan
dijalankannya putusan hakim tata usaha negara
(administrative court)
oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha
Negara ini penting disebut
tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga
negara tidak didzalimi oleh
keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara
sebagai pihak yang berkuasa. Jika
hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang
menyelesaikan tuntutan keadilan
itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan
bahwa putusan hakim tata usaha
Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat
tata usaha Negara yang
bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata
usaha negara itu sendiri harus
pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip
‘independent and impartial
judiciary’ tersebut di atas.
8. Peradilan Tata Negara
(Constitutional Court):
Di samping adanya pengadilan tata
usaha negara yang diharapkan memberikan
jaminan tegaknya keadilan bagi
tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern
juga lazim mengadopsikan gagasan
mahkamah konstitusi dalam sistem
ketatanegaraannya, baik dengan
pelembagaannya yang berdiri sendiri di luar dan
sederajat dengan Mahkamah Agung
ataupun dengan mengintegrasikannya ke dalam
kewenangan Mahkamah Agung yang
sudah ada sebelumnya. Pentingnya peradilan
ataupun mahkamah konstitusi (constitutional
court) ini adalah dalam upaya
memperkuat sistem ‘checks and
balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang
sengaja dipisah-pisahkan untuk
menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini
diberi fungsi pengujian
konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk
lembaga legislatif, dan memutus
berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar
lembaga negara yang mencerminkan
cabang-cabang kekuasaan negara yang
dipisah-pisahkan. Keberadaan
mahkamah konstitusi ini di berbagai negara
demokrasi dewasa ini makin
dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan
menjadi satu pilar baru bagi
tegaknya Negara Hukum modern.
9. Perlindungan Hak Asasi
Manusia:
Adanya perlindungan
konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan
hukum bagi tuntutan penegakannya
melalui proses yang adil. Perlindungan
terhadap hak asasi manusia
tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka
mempromosikan penghormatan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
sebagai ciri yang penting suatu
Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia
sejak kelahirannya menyandang
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat
bebas dan asasi. Terbentuknya
Negara dan demikian pula penyelenggaraan
kekuasaan suatu Negara tidak
boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan
hak-hak asasi kemanusiaan itu.
Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia
itu merupakan pilar yang sangat penting dalam
setiap Negara yang disebut
sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak
asasi manusia terabaikan atau
dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang
ditimbulkannya tidak dapat
diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan
tidak dapat disebut sebagai
Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis
(Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya
prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang
menjamin peranserta masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan,
sehingga setiap peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan
mencerminkan nilai-nilai keadilan
yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan
secara sepihak oleh dan/atau
hanya untuk kepentingan penguasa secara
bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi. Karena hukum tidak dimaksudkan
hanya menjamin kepentingan
segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin
kepentingan akan rasa adil bagi
semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, cita
negara hukum (rechtsstaat)
yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’,
melainkan ‘democratische
rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dalam
setiap Negara Hukum yang bersifat
nomokratis harus dijamin adanya demokrasi,
sebagaimana di dalam setiap
Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya
berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai Sarana
Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk
mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita
hukum itu sendiri, baik yang
dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi
(democracy) maupun yang
diwujudkan melalaui gagasan negara hukum
(nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan umum. Bahkan
sebagaimana cita-cita nasional
Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD
1945, tujuan bangsa Indonesia
bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Hukum
berfungsi sebagai sarana untuk
mewujudkan dan mencapai keempat tujuan
bernegara Indonesia itu. Dengan
demikian, pembangunan negara Indonesia tidak
terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’,
melainkan ‘mission driven’, yang
didasarkan atas aturan hukum.
12. Transparansi dan Kontrol
Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol
sosial yang terbuka terhadap setiap proses
pembuatan dan penegakan hukum,
sehingga kelemahan dan kekurangan yang
terdapat dalam mekanisme
kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara
komplementer oleh peranserta
masyarakat secara langsung (partisipasi langsung)
dalam rangka menjamin keadilan
dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini
penting karena sistem perwakilan
rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat
diandalkan sebagai satu-satunya
saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip
‘representation in ideas’ dibedakan
dari ‘representation in presence’, karena
perwakilan fisik saja belum tentu
mencerminkan keterwakilan gagasan atau
aspirasi. Demikian pula dalam penegakan
hukum yang dijalankan oleh aparatur
kepolisian, kejaksaan, pengacara,
hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan,
semuanya memerlukan kontrol
sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien
serta menjamin keadilan dan
kebenaran.
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Khusus mengenai cita Negara Hukum
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ide
kenegaraan kita tidak dapat
dilepaskan pula dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
yang merupakan sila pertama dan
utama Pancasila. Karena itu, di samping ke-12
ciri atau unsur yang terkandung
dalam gagasan Negara Hukum Modern seperti
tersebut di atas, unsur ciri yang
ketigabelas adalah bahwa Negara Hukum Indonesia
itu menjunjung tinggi nilai-nilai
ke-Maha Esaan dan ke-Maha Kuasa-an Tuhan.
Artinya, diakuinya prinsip supremasi
hukum tidak mengabaikan keyakinan
mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan
Yang Maha Esa yang diyakini sebagai sila
pertama dan utama dalam
Pancasila. Karena itu, pengakuan segenap bangsa
Indonesia mengenai kekuasaan
tertinggi yang terdapat dalam hukum konstitusi di
satu segi tidak boleh
bertentangan dengan keyakinan segenap warga bangsa
mengenai prinsip dan nilai-nilai
ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu, dan
di pihak lain pengakuan akan
prinsip supremasi hukum itu juga merupakan
pengejawantahan atau ekspresi
kesadaran rasional kenegaraan atas keyakinan pada
Tuhan Yang Maha Esa yang
menyebabkan setiap manusia Indonesia hanya
memutlakkan Yang Esa dan
menisbikan kehidupan antar sesama warga yang
bersifat egaliter dan menjamin
persamaan dan penghormatan atas kemajemukan
dalam kehidupan bersama dalam
wadah Negara Pancasila.
Dalam sistem konstitusi Negara
kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari perkembangan
gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan.
Meskipun dalam pasal-pasal UUD
1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak
dirumuskan secara eksplisit,
tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia
menganut ide ‘rechtsstaat’,
bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide
negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan.
Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950,
kembali rumusan bahwa Indonesia
adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas.
Oleh karena itu, dalam Perubahan
Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, ketentuan
mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1
ayat (3) yang berbunyi: “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara
hukum yang mengandung 13 ciri
seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3)
UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.
Penutup
Demikianlah beberapa catatan
ringkas tentang pembentukan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan
kaitannya dengan gagasan Negara Hukum Indonesia
masa depan. Terbentuknya Mahkamah
Konstitusi di satu segi menjadi salah satu ciri
penting konsep Negara Hukum
Indonesia pasca Perubahan Keempat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan di pihak lain, keberadaannya juga
penting untuk merealisasikan
perwujudan cita-cita Negara Hukum itu sendiri, dimulai
dengan mengawal tegaknya
konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (the supreme law of
the land). Mahkamah Konstitusi mempunyai
kedudukan yang penting sebagai salah satu
organ konstitusional pelaksana
kekuasaan kehakiman yang merdeka di samping dan
sederajat dengan Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi mengawal
dan menjaga agar konstitusi
sebagai hukum tertinggi dapat ditaati dan ditegakan dengan
setegak-tegaknya, sekaligus dalam
rangka mengendalikan, mengawal dan mengarahkan
proses demokrasi kehidupan
kenegaraan kita berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagai pengawal konstitusi dan pengarah demokrasi,
Mahkamah Konstitusi juga
berfungsi sebagai penafsir tertinggi atas Undang-Undang
Dasar melalui putusan-putusannya
sebagaimana mestinya. Karena itu, dapat dikatakan
kedudukan dan peranan lembaga ini
sangat penting dan strategis dalam rangka
bekerjanya sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia di masa yang akan datang, guna
mendukung upaya membangun kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan kita yang semakin
demokratis, damai, sejahtera,
mandiri, bermartabat, dan berkeadilan.
Thunder Titanium Lights | Stainless Steel, LLC | TITanium-Arts
BalasHapusThunder Titanium light rods are titanium app ideal trekz titanium pairing for how strong is titanium the lighter, lighter and more compact type of LED light, including the titanium exhaust tips original, 60 ffxiv titanium nugget cm-long,