Jumat, 23 November 2012

Hakikat Negara Hukum



HAKIKAT NEGARA HUKUM
KELOMPOK   9

ANGGOTA KELOMPOK  :
·      ROLITA KRISAKTI DEWI SIHOTANG
NIM : 1205151089
·      KEVIN GOREYN RANANTA GURUSINGA
NIM : 1205151112
KELAS    : P-3 AKUNTANSI

STIE-IBBI
CIRI-CIRI NEGARA HUKUM

Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechtsstaat atau Rule of Law. Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut.
1) Hak asasi manusia
2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa dikenal sebagai Trias Politika
3) Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan
4) Peradilan administrasi dalam perselisihan
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberi ciri-ciri Rule of Law sebagai berikut.
1) Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
2) Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat
3) Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan
Sebuah komisi para juris yang tergabung dalam International Comunition of Jurits pada konferensi Bangkok tahun 1965 merumuskan ciri-ciri pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law yang dinamis. Ciri-ciri tersebut adalah
1) Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selai daripada menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2) Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3) Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
4) Pemilihan umum yang bebas;
5) Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi;
6) Pendidikan civics (kewarganegaraan)
Disamping perumusan ciri-ciri negara hukum seperti di atas, ada pula berbagai pendapat mengenai ciri-ciri negara hukum yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Montesquieu, negara yang paling baik adalah negara hukum, sebab di dalam konstitusi di banyak negara terkandung tiga inti pokok, yaitu :
1) Perlindungan HAM
2) Ditetapkan ketatanegaraan suatu negara; dan
3) Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara
Prof. Sudargo Gautama mengemukakan 3(tiga) ciri atau unsur dari negara hukum, yakni sebagai berikut.
1) Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
2) Asas legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
3) Pemisahan kekuasaan
Agar hak-hak asasi betul-betul terlindungi, diadakan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan badan yang mengadilin harus terpisah satu sama
lain tidak berada dalam satu tangan.
3. INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM
Dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum tertuang pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dimasukkannya ketentuan ini ke dalam bagian pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara Indonesia adalah dan harus merupakan negara hukum.
Sebelumnya, landasan negara hukum Indonesia ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara, yaitu sebagai berikut.
1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat). Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2) Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Berdasarkan perumusan di atas, negara Indonesia memakai sistem Rechsstaat yang kemungkinan dipengaruhi oleh konsep hukum Belanda yang termasuk dalam wilayah Eropa Kontinental.
Konsepsi negara hukum Indonesia dapat dimasukkan negara hukum materiil, yang dapat dilihat pada Pembukaan UUD 1945 Alenia IV. Dasar lain yang dapat dijadikan landasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yakni pada Bab XIV tentang Perekonomian Nagara dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 dan 34 UUD 1945, yang menegaskan bahwa negara turut aktif dan bertanggung jawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.
Negara Hukum Indonesia menurut UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Norma hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai hukum dasar nasional;
2. Sistem yang digunakan adalah Sistem Konstitusi;
3. Kedaulatan rakyat atau Prinsip Demokrasi;
4. Prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 (1) UUD 1945);
5. Adanya organ pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR);
6. Sistem pemerintahannya adalah Presidensiil;
7. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif);
8. Hukum bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; dan
9. Adanya jaminan akan hak asasi dan kewajiban dasar manusia (Pasal 28 A-J UUD 1945).

HAKIKAT HAM DI INDONESIA
Sekitar abad ke 20 perjuangan hak asasi manusia cukup berkembang dan makin luas tidak hanya tebatas pada hak politik tetapi juga pada hak – sak lain, seperti yag diajukan presiden AS Franklin D. Roselvet pada permulaan perang dunia ke II waktu berhadapan dengan Nizi Jerman. Hak – hak tersebut sebagai The four Freedoms (Empat kebebasan) yaitu:
1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech)
2. Kebebasan beragama (freedom from religion)
3. Kebebasan dari ketakutan (freedom of fear)
4. Kebebasan dari kemelaratan (freedom of want)
Hak asasi manusia atau yang sering dikenal dengan HAM pada hakekatnya merupakan hak – hak fundamental yang dimilki oleh seseorang dan melekat pada kodrat manusia. HAM dalam ketentuan pasal 1 angka 1 undang – undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindugi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabatmanusia.
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
• John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
• Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
1.       Pembunuhan masal (genisida)
2.      Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
3.      Penyiksaan
4.      Penghilangan orang secara paksa
5.      Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
1.       Pemukulan
2.      Penganiayaan
3.      Pencemaran nama baik
4.      Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5.      Menghilangkan nyawa orang lain







GAGASAN NEGARA HUKUM INDONESIA


Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, maka dalam Perubahan Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum
atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945,
dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus
dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik
ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk
menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut
pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang
hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum
itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan
menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang
tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang
rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing)
sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi
kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang
berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah
Konstitusi yang berfungsi sebagai ‘the guardian’ dan sekaligus ‘the ultimate interpreter
of the constitution’.









Konsep Negara Hukum Kontemporer
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat
dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari
perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan
‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan
‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu
berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan
tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat
dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi
jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai
pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi”
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”2, jelas
tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan
dari zaman Yunani Kuno.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan
antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan
menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo
Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan
sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara
Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di
atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di
zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip
Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak
(independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan
mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri
penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:
1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Profesor Utrecht membedakan ntara Negara Hukum Formil atau Negara Hukum
Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern3. Negara Hukum
Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti
peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum
Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena
itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan
antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule
of law’ dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’. Pembedaan ini dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan
terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri
dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh
aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang
dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan
substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga
dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian
kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada
sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun
istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang
diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut
konsepsi tentang Negara Hukum di zaman sekarang.
Namun demikian, terlepas dari perkembangan pengertian tersebut di atas,
konsepsi tentang Negara Hukum di kalangan kebanyakan ahli hukum masih sering
terpaku kepada unsur-unsur pengertian sebagaimana dikembangkan pada abad ke-19 dan
abad ke-20. Sebagai contoh, tatkala merinci unsur-unsur pengertian Negara Hukum
(Rechtsstaat), para ahli selalu saja mengemukakan empat unsur ‘rechtsstaat’, dimana
unsurnya yang keempat adalah adanya ‘administratieve rechtspraak’ atau peradilan tata
usaha Negara sebagai ciri pokok Negara Hukum. Tidak ada yang mengaitkan unsur
pengertian Negara Hukum Modern itu dengan keharusan adanya kelembagaan atau
setidak-tidaknya fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengadilan tata Negara.
Jawabannya ialah karena konsepsi Negara Hukum (Rechtsstaat) sebagaimana banyak
dibahas oleh para ahli sampai sekarang adalah hasil inovasi intelektual hukum pada abad
ke 19 ketika Pengadilan Administrasi Negara itu sendiri pada mulanya dikembangkan;
sedangkan Mahkamah Konstitusi baru dikembangkan sebagai lembaga tersendiri di
samping Mahkamah Agung atas jasa Professor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru
dibentuk pertama kali di Austria pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika pengadilan tata
usaha Negara merupakan fenomena abad ke-19, maka pengadilan tata negara adalah
fenomena abad ke-20 yang belum dipertimbangkan menjadi salah satu ciri utama Negara
Hukum kontemporer. Oleh karena itu, patut kiranya dipertimbangkan kembali untuk
merumuskan secara baru konsepsi Negara Hukum modern itu sendiri untuk kebutuhan
praktek ketatanegaraan pada abad ke-21 sekarang ini.




















Menurut Arief Sidharta4, Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsurunsur
dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal sebagai
berikut:
1. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar
dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
2. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa
kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan
kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan
bersama dalam masyarakat bersifat ‘predictable’. Asas-asas yang terkandung dalam
atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah:
a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara
pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan;
c. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang
harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;
d. Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan
manusiawi;
e. Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undangundangnya
tidak ada atau tidak jelas;
f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam
undang-undang atau UUD.
3. Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law)
Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau
kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang
tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua
orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk
menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
4. Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama
untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan
pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip,
yaitu:
a. Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara
berkala;
b. Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh
badan perwakilan rakyat;
c. Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol
pemerintah;
d. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua
pihak;
e. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
f. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;
g. Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan
partisipasi rakyat secara efektif.
5. Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang
bersangkutan. Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut:
a. Asas-asas umum peerintahan yang layak;
b. Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat
manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan,
khususnya dalam konstitusi;
c. Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki tujuan
yangn jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan itu harus
diselenggarakan secara efektif dan efisien.

Muhammad Tahir Azhary5, dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam,
mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu
mengandung 9 (sembilan) prinsip, yaitu:
1. Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
2. Prinsip musyawarah;
3. Prinsip keadilan;
4. Prinsip persamaan;
5. Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
6. Prinsip peradilan yang bebas;
7. Prinsip perdamaian;
8. Prinsip kesejahteraan;
9. Prinsip ketaatan rakyat.
Brian Tamanaha (2004), seperti dikutip oleh Marjanne Termoshuizen-Artz dalam
Jurnal Hukum Jentera6, membagi konsep ‘rule of law’ dalam dua kategori, “formal and
substantive”. Setiap kategori, yaitu “rule of law” dalam arti formal dan “rule of law
dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep Negara
Hukum atau “Rule of Law” itu sendiri menurutnya mempunyai 6 bentuk sebagai berikut:
1. Rule by Law (bukan rule of law), dimana hukum hanya difungsikan sebagai
instrument of government action”. Hukum hanya dipahami dan difungsikan sebagai
alat kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat tinggi,
serta sangat disukai oleh para penguasa sendiri, baik yang menguasai modal maupun
yang menguasai proses-proses pengambilan keputusan politik.
2. Formal Legality, yang mencakup ciri-ciri yang bersifat (i) prinsip prospektivitas (rule
written in advance) dan tidak boleh bersifat retroaktif, (ii) bersifat umum dalam arti
berlaku untuk semua orang, (iii) jelas (clear), (iv) public, dan (v) relative stabil.
Artinya, dalam bentuk yang ‘formal legality’ itu, diidealkan bahwa prediktabilitas
hukum sangat diutamakan.
3. Democracy and Legality. Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang
menjamin kepastian. Tetapi, menurut Brian Tamanaha, sebagai “a procedural mode
of legitimation” demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa
dengan “formal legality”7. Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga
dapat menghasilkan hukum yang buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu
sistem demokrasi yang berdasar atas hukum dalam arti formal atau rule of law dalam
arti formal sekali pun, tetap dapat juga timbul ketidakpastian hukum. Jika nilai
kepastian dan prediktabilitas itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu
dapat saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezmi otoriter yang lebih
menjamin stabilitas dan kepastian.
4. “Substantive Views” yang menjamin “Individual Rights”.
5. Rights of Dignity and/or Justice
6. Social Welfare, substantive equality, welfare, preservation of community.
Randall Peerenboom (2004)
Cita Negara Hukum Indonesia
Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum itu
dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat saya, kita
dapat merumuskan kembali adanya tiga-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat)
yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilarpilar
utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut
sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang
sebenarnya, yaitu:
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu
bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin
tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang
mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative mengenai supremasi
hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau
konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam
perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’.
Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni,
konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’.
Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal adanya
pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem
pemerintahan parlementer.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang
diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakantindakan
yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’
guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok
warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat
perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan
yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan
perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian
diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok
masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan
kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang
bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak
terlantar.

3. Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus
didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan
perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau
mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan
demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan
atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normative demikian nampaknya
seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena
itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijs
ermessen’ yang memungkinkan para pejabat tata usaha negara atau administrasi
negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’)
ataupun peraturan-peraturan yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal
regulation) secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang
dibebankan oleh peraturan yang sah.
4. Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara
menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap
kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenangwenang,
seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi
dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat
‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi
dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan
membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical.
Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ
atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5. Organ-Organ Campuran Yang Bersifat Independen:
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula
adanya pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti
bank sentral, organisasi tentara, dan organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula
lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan
Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini
sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi
sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya
merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan
ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ
tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat
disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi
tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi prodemokrasi,
bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber
kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu
pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan
kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat
penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial
judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap
Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun
kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak
diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan
oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative
ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya,
hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran
dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan
perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian
dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup
di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undangundang
atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang
menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan
tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara
Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus
terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan
pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara
(administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha
Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga
negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara
sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang
menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan
bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat
tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata
usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip
independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan
jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern
juga lazim mengadopsikan gagasan mahkamah konstitusi dalam sistem
ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri di luar dan
sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan mengintegrasikannya ke dalam
kewenangan Mahkamah Agung yang sudah ada sebelumnya. Pentingnya peradilan
ataupun mahkamah konstitusi (constitutional court) ini adalah dalam upaya
memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang
sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini
diberi fungsi pengujian konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk
lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar
lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang
dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara
demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan
menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern.
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan
hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan
terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka
mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia
sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat
bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan
kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan
hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam
setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak
asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang
ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan
tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang
menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan,
sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan
mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan
secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum tidak dimaksudkan
hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin
kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, cita
negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’,
melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dalam
setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi,
sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya
berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita
hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi
(democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum
(nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan
sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD
1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Hukum
berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan
bernegara Indonesia itu. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak
terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan ‘mission driven’, yang
didasarkan atas aturan hukum.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses
pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang
terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara
komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung)
dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini
penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat
diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip
representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena
perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau
aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur
kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan,
semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien
serta menjamin keadilan dan kebenaran.
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Khusus mengenai cita Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ide
kenegaraan kita tidak dapat dilepaskan pula dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
yang merupakan sila pertama dan utama Pancasila. Karena itu, di samping ke-12
ciri atau unsur yang terkandung dalam gagasan Negara Hukum Modern seperti
tersebut di atas, unsur ciri yang ketigabelas adalah bahwa Negara Hukum Indonesia
itu menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Maha Esaan dan ke-Maha Kuasa-an Tuhan.
Artinya, diakuinya prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan keyakinan
mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini sebagai sila
pertama dan utama dalam Pancasila. Karena itu, pengakuan segenap bangsa
Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi yang terdapat dalam hukum konstitusi di
satu segi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan segenap warga bangsa
mengenai prinsip dan nilai-nilai ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu, dan
di pihak lain pengakuan akan prinsip supremasi hukum itu juga merupakan
pengejawantahan atau ekspresi kesadaran rasional kenegaraan atas keyakinan pada
Tuhan Yang Maha Esa yang menyebabkan setiap manusia Indonesia hanya
memutlakkan Yang Esa dan menisbikan kehidupan antar sesama warga yang
bersifat egaliter dan menjamin persamaan dan penghormatan atas kemajemukan
dalam kehidupan bersama dalam wadah Negara Pancasila.
Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan.
Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak
dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia
menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide
negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950,
kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas.
Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1
ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara
hukum yang mengandung 13 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.



















Penutup
Demikianlah beberapa catatan ringkas tentang pembentukan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan kaitannya dengan gagasan Negara Hukum Indonesia
masa depan. Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di satu segi menjadi salah satu ciri
penting konsep Negara Hukum Indonesia pasca Perubahan Keempat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan di pihak lain, keberadaannya juga
penting untuk merealisasikan perwujudan cita-cita Negara Hukum itu sendiri, dimulai
dengan mengawal tegaknya konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (the supreme law of
the land). Mahkamah Konstitusi mempunyai kedudukan yang penting sebagai salah satu
organ konstitusional pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka di samping dan
sederajat dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi mengawal
dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditaati dan ditegakan dengan
setegak-tegaknya, sekaligus dalam rangka mengendalikan, mengawal dan mengarahkan
proses demokrasi kehidupan kenegaraan kita berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai pengawal konstitusi dan pengarah demokrasi,
Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai penafsir tertinggi atas Undang-Undang
Dasar melalui putusan-putusannya sebagaimana mestinya. Karena itu, dapat dikatakan
kedudukan dan peranan lembaga ini sangat penting dan strategis dalam rangka
bekerjanya sistem ketatanegaraan Republik Indonesia di masa yang akan datang, guna
mendukung upaya membangun kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita yang semakin
demokratis, damai, sejahtera, mandiri, bermartabat, dan berkeadilan.